Minggu, 01 Mei 2022


 ISTANA'KU 


Dipangkuan Ibu Berkepang Api 

Terselip Istana Beratap Janur 

Air Mata Sang Ibu Terus Mengalir 

Memanggil Saudara Segera Kemari 


Semilir Angin  Terus Berdansa 

Kicau Jangkrik  Bersua  Mesra 

Lentera Bernyala Dibalik Dinding Berjuta Makna 

Indahnya Arsitektur Kuno Penghias Istana 


Istana'Ku ...

Pemberi Semangat Kian Pupus Berjuta Langkah

Membuatku Percaya Pada Diri Yang Kian Lemah

Istana'ku  Kian Megah 

Terpatri Nilai Filsafa Dalam Jutaan Sejarah 


Istana'Ku 

Ribuan Insan Terselip Nama 

Lango Aran Kian Terukir Beribu Makna

Memberi Label Pada Jutaan Jiwa 

 

Chyntia Kokomaking L.A



Jumat, 18 Oktober 2019

Tradisi bao boti ure kowa


                                                                 TRADISI BAO BOTI URE KOWA

Tokojaeng atau lebih dikenal dengan Lamatokan memiliki berbagai budaya yang masih tersebunyi hingga saat ini. Adanya suatu kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang tetap dipertahankan masyarakat hingga kini. sikap mencintai budaya diterapkan oleh masyarakat Lamatokan sebagai suatu penghargaan kepada kewokot atau leluhur. Masyarakat Lamatokan yang mempercayai akan adanya bantuan dari sang lelehur ketika mereka mengalami mengalami suatu kesulitan. Salah satu kesulitan yang sering ada setiap tahunnya adalah adanya curah hujan yang tidak menentu pada saat musim Hujan tiba.
Pada umumnya masyarakat Lamatokan sebagian besarnya bekerja sebagai petani, maka air menjadi suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Pada umumnya mereka menggunakan air sumur yang memiliki komposisi dari air laut dan campuran blerang yang tidak selayaknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya. Maka tidak heran jika bayak anggota masyarakat ini memiliki gigi yang berwarna kekuningan. Berbicara akan susanya mendapatkan air bersi maka lamatokan bisa dikatakan sebagai subjek yang tepat. Mengapa tidak??? Uluran tangan dari sang pemimpin masih ditunggu-tunggu hingga saat ini. Untuk minum saja, masyarakat menampung air hujan dibak pada setiap musim hujan untuk kebutuhan setahunnya.
Air hujan selalu dinanti-nantikan oleh masyarakat lamatokan setiap tahunnya. Jika tidak turun hujan masyarakat mengalami kewalahan dalam berbagai aspek, baik itu pertanian, peternakan, dan kehidupan setiap harinya. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya tradisi Bao Boti Ure Kowa yang digenerasikan dari nenek moyang di waktu lampu. Hingga kini masih tradisi ini masih tetap dipertahankan dan dilakukan hampir setiap tahunnya jika tidak turun hujan.
Tradisi Panggilan hujan atau BAO BOTI URE KOWA  menjadi suatu tradisi yang unik dalam kehidupan masyarakat lamatokan. Tradisi ini menceritakan tentang suatu permohonan dari masyarakat agar diberikan curah hujan yang melimpah bagi kehidupan mereka. Memalui tradisi  bao boti ure kowa ini masyarakat beranggapan bahwa lera wulan tanah ekan dan kewolot akan membantu mereka dalam menangani masalah kekeringan. Dalam ritual ini  pula diperlukan dukungan penuh  dari setiap anggota masyarakat.  Baik itu pemerintah desa, tokoh agama, tokoh masyarakat maupun tokoh adat harus  bergandengan tangan untuk bersama-sama mendukung dan menyukseskan ritual tersebut.
Ritual bao boti ure kowa ini pertama-tama dilakukan di namang , dalam sebutan masyarakat lamaholot namang biasa dijadikan sebagai tempat berkumpul masyarakat dalam mengadakan suatu kegiataan upacara adat. Namun namang yang dimaksud menjadi suatu pusat dari kampung/ desa Lamatokan yang terletak di lewo nulenge (kampung lama). 
 Di tempat ini, diadakan pao boe (memberi makan kepada leluhur) hal ini dipercaya agar ritual yang diilakukan berjalan dengan baik. Setelah melakukan pao boe, toko adat melakukan ritual pemberkatan terhadap perahu  kecil yang menjadi karakteristik dari ritual ini. Perlu diketahuhi didalam perahu kecil ini terdapat beberapa binatang diantaranya Tikus (sebagai juru mudi) belalang, dan jenis binatang melata lainnya. Di atas permukaan perahu ditutupi dengan ketupat sebagai bahan makanan dari seisi perahu selama melakukan pelayaan. Tikus dan kawan-kawan, diibaratkan sebagai pengutus dari masyarakat untuk membawa pesan akan kesusahan yang dialam kepada lera wulan tana ekan dan kewokot.
Setelah melakukan ritual tersebut masyarakat diajak untuk bersama-sama membawa perahu tersebut ke pantai. Dalam perjalanan ke pantai masyarakat bersama-sama menyanyikan sole oha dengan diiringi balasan pantun dari setiap masyarakat. Hal ini membuat Suasana perjalanan semakin indah dan menarik.
Setelah sampai dipantai dilakukan lagi ritual untuk melepaskan para pengutus kelaut. Namun sebelum dilakukan ritual ini, seorang anak suku diminta untuk memana ubi yang disembunyikan di dalam pasir tampa diketuhi oleh sang pemana. Berhasil tidaknya ritual tersebut tergantung juga pada tepat atau tidaknya pemana dalam mencari sasaran. Jika pana tersebut kena sasaran maka ritual tersebut dianggap berhasil.  Dalam melepaskan perahu dan seisi perahu masyarakat melambaikan tangan dan di ikuti tepukan tangan. 
Setelah melakukan ritual tersebut masyarakat dilarang untuk menghidupkan lampu pada malam hari, lampu yang digunakan dirumah hanya 1-2 lampu saja. Hal ini dianggap kita sedang berduka da konnbersedi, dan nenek moyangpun ikut bersedi dalam melihat kondisi mereka.
TERIMA KASIH.
Martinus kidaman Kokomaking