TRADISI BAO BOTI URE KOWA
Tokojaeng atau lebih dikenal
dengan Lamatokan memiliki berbagai budaya yang masih tersebunyi hingga saat ini. Adanya
suatu kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang tetap dipertahankan masyarakat hingga kini. sikap mencintai budaya diterapkan oleh masyarakat Lamatokan
sebagai suatu penghargaan kepada kewokot atau
leluhur. Masyarakat Lamatokan yang mempercayai akan adanya bantuan dari sang lelehur
ketika mereka mengalami mengalami suatu kesulitan. Salah satu kesulitan yang sering ada setiap
tahunnya adalah adanya curah hujan yang tidak menentu pada saat musim Hujan tiba.
Pada umumnya masyarakat Lamatokan sebagian
besarnya bekerja sebagai petani, maka air menjadi suatu hal yang sangat penting
bagi kehidupan sehari-hari. Pada umumnya mereka menggunakan air sumur yang memiliki komposisi dari air laut dan campuran blerang yang tidak selayaknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya. Maka tidak heran jika bayak anggota masyarakat ini memiliki gigi yang berwarna kekuningan. Berbicara akan susanya
mendapatkan air bersi maka lamatokan bisa dikatakan sebagai subjek yang tepat.
Mengapa tidak??? Uluran tangan dari sang pemimpin masih ditunggu-tunggu hingga saat
ini. Untuk minum saja, masyarakat menampung air hujan dibak pada setiap musim hujan untuk kebutuhan
setahunnya.
Air hujan selalu dinanti-nantikan
oleh masyarakat lamatokan setiap tahunnya. Jika tidak turun hujan masyarakat
mengalami kewalahan dalam berbagai aspek, baik itu pertanian, peternakan, dan kehidupan setiap harinya. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya tradisi Bao Boti Ure Kowa yang digenerasikan dari nenek moyang di waktu lampu. Hingga kini masih tradisi ini masih tetap dipertahankan dan dilakukan hampir setiap tahunnya jika tidak turun hujan.
Tradisi Panggilan hujan atau BAO BOTI URE KOWA menjadi
suatu tradisi yang unik dalam kehidupan masyarakat lamatokan. Tradisi ini menceritakan tentang suatu permohonan dari masyarakat agar diberikan curah hujan yang melimpah bagi kehidupan mereka. Memalui tradisi bao boti ure kowa ini masyarakat beranggapan bahwa lera
wulan tanah ekan dan kewolot akan
membantu mereka dalam menangani masalah kekeringan. Dalam ritual ini pula diperlukan dukungan penuh dari setiap anggota masyarakat. Baik itu
pemerintah desa, tokoh agama, tokoh masyarakat maupun tokoh adat harus bergandengan tangan untuk bersama-sama
mendukung dan menyukseskan ritual tersebut.
Ritual bao boti ure kowa ini pertama-tama dilakukan di namang , dalam sebutan masyarakat lamaholot
namang biasa dijadikan sebagai tempat berkumpul masyarakat dalam mengadakan
suatu kegiataan upacara adat. Namun namang yang dimaksud menjadi suatu pusat dari kampung/ desa Lamatokan
yang terletak di lewo nulenge
(kampung lama).
Di tempat ini, diadakan pao
boe (memberi makan kepada leluhur) hal ini dipercaya agar ritual yang
diilakukan berjalan dengan baik. Setelah melakukan pao boe, toko adat melakukan
ritual pemberkatan terhadap perahu kecil
yang menjadi karakteristik dari ritual ini. Perlu diketahuhi didalam perahu kecil
ini terdapat beberapa binatang diantaranya Tikus (sebagai juru mudi) belalang,
dan jenis binatang melata lainnya. Di atas permukaan perahu ditutupi dengan ketupat
sebagai bahan makanan dari seisi perahu selama melakukan pelayaan. Tikus dan kawan-kawan, diibaratkan
sebagai pengutus dari masyarakat untuk membawa pesan akan kesusahan yang dialam
kepada lera wulan tana ekan dan kewokot.
Setelah melakukan ritual tersebut
masyarakat diajak untuk bersama-sama membawa perahu tersebut ke pantai. Dalam perjalanan
ke pantai masyarakat bersama-sama menyanyikan sole oha dengan diiringi balasan
pantun dari setiap masyarakat. Hal ini membuat Suasana perjalanan semakin indah
dan menarik.
Setelah sampai dipantai dilakukan
lagi ritual untuk melepaskan para pengutus kelaut. Namun sebelum dilakukan
ritual ini, seorang anak suku diminta untuk memana ubi yang disembunyikan di
dalam pasir tampa diketuhi oleh sang pemana. Berhasil tidaknya ritual tersebut
tergantung juga pada tepat atau tidaknya pemana dalam mencari sasaran. Jika
pana tersebut kena sasaran maka ritual tersebut dianggap berhasil. Dalam melepaskan perahu dan seisi perahu
masyarakat melambaikan tangan dan di ikuti tepukan tangan.
Setelah melakukan ritual tersebut
masyarakat dilarang untuk menghidupkan lampu pada malam hari, lampu yang
digunakan dirumah hanya 1-2 lampu saja. Hal ini dianggap kita sedang berduka
da konnbersedi, dan nenek moyangpun ikut bersedi dalam melihat kondisi mereka.
TERIMA KASIH.
Martinus kidaman
Kokomaking